My Time

Friday, May 15, 2015

SQ DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM



SQ DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM


MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Manajemen Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Fatah Syukur, NC. M. Ag



 











Disusun oleh :
Diyah Fitriyani                        123311014



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014








 
I.      
I.    PENDAHULUAN
Pada dasarnya dalam pendidikan seorang pemimpin sangat diperlukan. Fungsi utama dari kepemimpinan adalah sebagai administrator dan koordinator bagi semua Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam(SDA), dana, sarana, dan potensi-potensi yang dimiliki organisasi dalam mencapai tujuan organisasi.
seorang pemimpin merupakan faktor penentu sukses atau gagalnya suatu organisasi dan usaha. Baik di dunia bisnis maupun pendidikan, kesehatan, perusahaan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kualitas pemimpin akan menentukan keberhasilan lembaga atau organisasinya.
Keberhasilan suatu organisasi atau lembaga dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan tergantung dari sistem kepemimpinannya, yaitu apakah kepemimpinan tersebut mampu menggerakkan semua potensi Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam(SDA), dana, sarana dan waktu secara efektif dan efisien dalam proses manajemen. Serta apabila semua aspek terpenuhi maka akan tercipta keberhasilan tersebut.
Dalam suatu kepemimpinan, seorang pemimpin perlu memiliki dan mengintegralkan serta mnyeimbangkan antara kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient), kecerdasan emosional (Emotional Quotient), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Dan dalam makalah ini akan membahas tentang kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) dalam kepemimpinan pendidikan Islam.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Spiritual Quotient (SQ)?
B.     Apa pengertian kepemimpinan pendidikan Islam?
C.     Bagaimana SQ dalam kepemimpinan pendidikan Islam?



III.  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Spiritual Quotient (SQ)
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal dalam buku Ary Ginanjar Agustian mereka mendefinisikan kecerdasan spiritual (spiritual quotient) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk menmfungsikan kecerdasan intelektual (IQ), dan kecerdasan emosional (EQ) secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.[1]
Sedangkan menurut Dedhi Suharto sebagaimana dikutip dalam bukunya Zamroni, MA dan Umiarso, M.Pd.I, bahwa kecerdasan yang ultimate dan melandasi kecerdasan lain yang ada dalam diri manusia adalah kecerdasan ruh. Dengan ketiadaan kecerdasan ruh pada diri manusia akan mengakibatkan hilangnya ketenangan batin dan akhirnya akan mengakibatkan hilangnya kebahagiaan pada diri seseorang. Besarnya kecerdasan ruh lebih besar dari pada kecerdasan hati dan kecerdasan otak atau kecerdasan ruh cenderung meliputi kecerdasan hati dan kecerdasan otak.
Kebutuhan akan spiritual untuk mempertahankan keyakinan, mengembalikan keyakinan, memenuhi kewajiban agama, serta untuk menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang, sehingga dapat terwujud diri manusia seutuhnya. Artinya keseimbangan dalam diri manusia banyak ditentukan oleh kematangan spiritualitas manusia atau bahkan ditentukan oleh hubungan manusia dengan Tuhan sebagai bentuk representasi kecerdasan spiritualitas manusia itu sendiri.[2]
Dengan kata lain berlandaskan definisi-definisi diatas kecerdasan spiritual (spiritual quotient) adalah inti dari semua kecerdasan yang dimiliki oleh manusia dengan adanya kecerdasan spiritual (SQ) maka kecerdasan intelektual (IQ) serta kecerdasan emosional (EQ) dapat berfungsi dengan efektif. Serta bila ketiganya dapat berjalan dengan baik maka seseorang dapat merasakan kebahagian dan ketenangan batin karena selalu dekat dengan Tuhannya.
B.     Pengertian Kepemimpinan Pendidikan Islam
Sebelum mengetahui apa pengertia kepemimpinan pendidikan islam kita perlu mengetahui definisi dari kepemimpinan terlebih dahulu, istilah kepemimpinan dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris leadership. Dalam hal ini terdapat beberapa definisi tentang leadership itu sendiri. Carter V. Good dalam buku Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag mendefinisikan kepemimpinan (leadership) “. . . the ability and readiness to inspire, guide or manage other”.[3]
Sedangkan menurut M. Ngalim Purwanto sebagaimana dikutip oleh Zamroni, MA dan Umiarso, M.Pd.I mendefinisikan kepemimpinan merupakan permulaan dari suatu struktur atau prosedur baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah tujuan-tujuan dan sasaran organisasi. Dalam buku yang sama juga disebutkan E. Mulyasa mendefinisikan kepemimpina sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi.[4]
Dari definisi-definisi kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan pendidikan Islam ialah suatu proses kegiatan mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu hal melalui prosedur yang diinginkan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan pendidikan Islam dengan penuh kesadaran dan keikhlasan tanpa adanya paksaan.
C.     Spiritual Quotient (SQ) Dalam Kepemimpinan Pendidikan Islam
Di dalam suatu organisasi sangat diperlukan adanya seorang pemimpin. Pentingnya pemimpin dalam Islam juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang artinya: “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang ayah adalah seorang pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang ibu adalah seorang pemimpin di rumah tangga suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang anak adalah pemimpin dalam menjaga harta benda ayahnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban, dan kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya”. (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).[5]
Sama halnya dengan dunia pendidikan baik yang bercorak Islam maupun tidak sangat lah diperlukan adanya seorang pemimpin yang dapat dijadikan panutan bagi semua orang yang ada dibawah kepemimpinannya, dan dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinannya seperti yang dijelaskan pada hadits diatas.
Dalam hal pendidikan kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah. Dalam hal ini, perilaku seorang kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun kelompok. Perilaku kepala sekolah yang positif dapat mendorong, mengarahkan, dan memotivasi seluruh warga sekolah untuk bekerja sama mewujudkan visi, misi, dan tujuan.[6] Kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian utama karena melalui kepemimpinan yang baik diharapkan lahirnya tenaga-tenaga yang berkualitas dalam berbagai bidang, baik sebagai pemilir maupun pekerja.[7]
Dalam kepemimpinan seorang pemimpin selain harus mempunyai kecerdasan intelektual (intelegent quotient) dan kecerdasan emosional (emotional quotient), seorang pemimpin juga harus memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang melandasi kecerdasan lainnya yang ada pada diri seseorang sehingga dapat berfungsi dengan baik. Kecerdasan spiritual berfungsi sebagai penyeimbang antara kecerdasan intelektual dan emosional.
Orang yang cerdas secara spiritual adalah orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah sebagai manifestasi dari aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan keharmonisan dan keselarasan dalam hidupnya, sebagai wujud dari pengalamannya dari tuntutan fitrahnya sebagai mahkluk yang memiliki ketergantungan terhadap kekuatan yang ada diluar jangkauan dirinya yaitu Sang Maha Pencipta Allah SWT. Sehingga setinggi apa pun kedudukannya tidak akan timbul rasa angkuh dan bertindak sewenang-weang dalam dirinya yang akan membuat orang orang yang ada disekitarnya merasa tidak nyaman atas kepemimpinannya.
Pada hakikatnya arah pendidikan mengerucut pada satu arah yaitu, melahirkan generasi berbobot dan beriman yang memiliki komitmen dalam menciptakan kemaslahatan. Pendidikan adalah sarana untuk membentuk kesadaran hidup untuk kembali pada hakikat kemanusiaaanya.
Oleh sebab itu dalam kepemimpinan pendidikan Islam, seorang pemimpin harus dapat mencontohkan kepada orang-orang yang ada di bawah kepemimpinannya nilai-nilai luhur budaya kepada peserta didik dalam upaya membentuk kepribadian yang intelek bertanggungjawab serta bertaqwa kepada Allah SWT sebagai dzat yang menciptakannya serta dzat yang memberinya kecerdasan dan kekuasaan yang dimilikinya.[8]
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerrdasan spiritual (spiritual quotient) dalam kepemimpinan pendidikan adalah kepemimpinan yang berlandaskan pada etika religious, ada pun karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1.      Kejujuran sejati.
Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran. Berlaku jujur senantiasa membawa kepada keberhasilan dan kebahagiaan pada akhirnya, walaupun mungkin pada boleh jadi terasa pahit.
2.      Fairness
Pemimpin spiritual mengemban misi sosial untuk menegakkan keadilan di muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga dan orang lain. Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar kewajiban moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil,  melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya untuk keberhasilan kepemimpinannya.
3.       Semangat amal shaleh
Kebanyakan pemimpin suatu lembaga, mereka sebenarnya bekerja bukan untuk orang dan  lembaga yang dipimpin, melainkan untuk “keamanan”, “kemapanan” dan “kejayaan” dirinya. Tetapi kepemimpinan spiritual bersikap berbeda, yakni bekerja karena panggilan dari hati nurani yang ditujukan semata-mata untuk mengharap ridho Tuhan.[9]

4.        Membenci formalitas dan organized religion
Bagi seorang spiritualis, formalitas tanpa isi bagaikan pepesan kosong.  Organized religion biasanya hanya mengedepankan dogma, peraturan, perilaku dan hubungan sosial yang terstruktur yang berpotensi memecah belah.. Tindakan formalitas perlu dilakukan untuk memperkokoh makna dari substansi tindakan itu sendiri dan dalam rangka merayakan sebuah kesuksesan, kemenangan. Pemimpin spiritual lebih mengedepankan tindakan yang genuine dan substantive.
5.      Sedikit bicara banyak kerja dan santai
Banyak bicara banyak salahnya, banyak musuhnya, banyak dosanya serta sedikit kontemplasinya dan sedikit karyanya. Seorang pemimpin spiritual  adalah pemimpin yang sedikit bicara banyak kerja. Ia lebih mnegedepankan pekerjaan secara efisien dan efektif.
6.       Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.
Sebagaimana dikemukakan di muka, pemimpin spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Upaya mengenali jati diri itu juga dilakukan terhadap orang lain. Dengan mengenali jati diri ia dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat bersikap secara arif dan bijaksana dalam berbagai situasi.
7.      Keterbukaan menerima perubahan.
Perubahan adalah kata yang paling disukai bagi kelompok tertindas dan sebaliknya paling ditakuti oleh kelompok mapan. Pimpinan biasanya dikategorikan sebagai kelompok mapan dan pada umumnya berusaha menikmati kemapanannya dengan menolak perubahan. Kalaupun ia gencar mengadakan perubahan  adalah dalam rangka mempertahankan atau mengamankan posisinya.
Pemimpin spiritual berbeda dengan pemimpin pada umumnya. Ia tidak alergi dengan perubahan dan juga bukan penikmat kemapanan. Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang dengan perubahan yang menyentuh diri mereka yang paling dalam sekalipun[10]
8.      Pemimpin yang dicintai.
Pemimpin pada umumnya sering tidak perduli apakah mereka dicintai para karyawannya atau tidak. Bagi mereka dicintai atau dibenci itu  tidak penting, yang penting dihormati dan memperoleh legitimasi sebagai pemimpin. Bahkan sebagian diantara mereka merasa tidak perlu dicintai karena hal itu akan menghalangi dalam mengambil keputusan yang sulit yang menyangkut persoalan karyawannya. Pernyataan ini mungkin  ada benarnya, akan tetapi bagi pemimpin spiritual, kasih sayang sesama justru merupakan ruh (élan vital, spirit) sebuah organisasi. Cinta kasih bagi pemimpin spiritual bukanlah cinta kasih dalam pengertian sempit yang dapat mempengaruhi obyektifitas dalam pengambilan keputusan dan memperdayakan kinerja lembaga, tetapi cinta-kasih yang memberdayakan, cinta kasih yang tidak semata-mata bersifat perorangan, tetapi cita kasih struktural yaitu cinta terhadap ribuan orang yang dipimpinnya.
9.       Think Globally and act locally
Statemen di atas merupakan visi seorang pemimpin spiritual. Memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian kekinian dan kedisinian. Dalam hal yang paling abstrak (spirit, soul, ruh) saja ia dapat meyakini, memahami dan menghayati, maka dalam kehidupan nyata ia tentu lebih dapat memahami dan menjelaskan lagi walaupun kenyataan itu merupakan cita-cita masa depan. Ia memiliki kelebihan untuk menggambarkan idealita masa depan secara mendetail dan bagaimana mencapainya kepada orang lain seakan-akan gambaran masa depan itu sebuah realitas yang ada di depan mata. Disiplin Tetapi Fleksibel dan Tetap Cerdas dan Penuh Gairah
Kedisiplinan pemimpin spiritual tidak didasarkan pada sistem kerja otoritarian yang menimbulkan kekakuan dan ketakutan, melainkan didasarkan pada komitmen dan kesadaran yaitu kesadaran spiritual yang oleh Percy dianggap sebagai bentuk komitmen yang paling tinggi setelah komitmen politik, komitmen intelektual dan komitmen emosional. Pemimpin spiritual adalah orang yang berhasil mendisiplinkan diri sendiri dari keinginan, godaan dan tindakan destruktif atau sekedar kurang bermanfaat atau kurang patut. Kebiasaan mendisiplinkan diri ini menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang teguh memegang prinsip, memiliki disiplin yang tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas, bergairah dan mampu melahirkan energi yang seakan tiada habisnya.
10.  Kerendahan Hati
Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya bahwa semua kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan karena dia dan bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Dzat Yang Maha Terpuji[11]

IV.             ANALISIS
Pendidikan adalah hal yang sangat urgen dalam keberlangsungan masa depan bangsa Indonesia. Serta tidak kalah pentingnya dalam dunia pendidikan juga dibutuhkan sosok seorang pemimpin untuk dijadikan panutan bagi semua orang yang ada di bawah kepemimpinannya.
Seorang pemimpin adalah salah satu faktor penentu berhasil atau tidaknya suatu organisasi atau lembaga dalam mencapai tujuan yang telah dirancang terlebih dahulu. Dalam penjelasan diatas juga sudah disebutkan definisi kepemimpianan pendidikan Islam yang intinya adalah suatu proses kegiatan mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu hal melalui prosedur yang diinginkan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan pendidikan Islam dengan penuh kesadaran dan keikhlasan tanpa adanya paksaan.
Di dalam kepemimpinan pendidikan Islam selain harus memiliki kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) seorang pemimimpin juga harus memiliki kecerdasan spiritual (SQ). karena kecerdasan spiritual adalah landasan untuk berfungsinya kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosianal seseorang secara efektif.
Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual adalah seorang pemimpin yang patut untuk dijadikan panutan, karena seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual memiliki karakteristik kepribadian yang baik dan kecil kemungkinannya pemimpin tersebut melakukan hal yang sewenang-wenang terhadap kepemimpinannya karena kedekatannya dengan Sang Maha Pencipta Allah SWT. Sehingga diharapkan kepribadian seorang pemimpin yang seperti ini dapat ditiru oleh orang-orang yang dipimpinnya.
V.                KESIMPULAN
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang menjadi landasan kecerdasan intelektual serta kecerdsan emosional agar dapat berfungsi secara efektif. Kecerdasan spiritual identik dengan religious atau keagamaan.
Sedangkan kepemimpinan pendidikan Islam adalah suatu proses mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu hal melalui prosedur yang diinginkan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan pendidikan Islam dengan penuh kesadaran dan keikhlasan tanpa adanya paksaan.
Maka spiritual quotient dalam kepemimpinan pendidikan Islam adalah kepemimpinan yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional saja melainkan menggunakan kecerdasan spiritual yang menekankan nilai-nilai agama pada kepemimpinannya, karakteristik kepemimpinan tersebut adalah:
1.      Kejujuran sejati.
2.      Fairness
3.      Semangat amal shaleh
4.      Membenci formalitas dan organized religion
5.      Sedikit bicara banyak kerja dan santai
6.       Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.
7.      Keterbukaan menerima perubahan.
8.      Pemimpin yang dicintai.
9.      Think Globally and act locally
10.  Kerendahan Hati


VI.             PENUTUP
Demikian penjelasan dari makalah ini. Tak ada kesempurnaan didunia ini kecuali kekuasaan Allah, oleh karena itu kritik dan saran yang dapat membangun demi kemajuan dan kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya sangat dibutuhkan. Yang terakhir semoga makalah ini bermanfaat bagi kehidupan kita sehari-hari.


















DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar, 2005, ESQ (Emotional Spiritual Quotient), Jakarta: ARGA,
Mulyasa, E, 2012, Manajemen danKepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Qomar, Mujamil, 2007 Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Syukur, H. Fatah, 2011, Manajemen Pendidikan Berbasis Pada Madrasah, Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.
Zamroni, dan Umiarso, 2011, ESQ Model dan Kepemimpinan Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group





 


[1] Ary Ginanjar Agustian, ESQ (Emotional Spiritual Quotient), (Jakarta: ARGA, 2005), Hlm 46
[2] Zamroni, dan Umiarso, ESQ Model dan Kepemimpinan Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), Hlm 50
[3] H. Fatah Syukur, Manajemen Pendidikan Berbasis Pada Madrasah, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2011), Hlm 18
[4] Zamroni, dan Umiarso, ESQ Model dan Kepemimpinan Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), Hlm 24
`[5] H. Fatah Syukur, Manajemen Pendidikan Berbasis Pada Madrasah, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2011), Hlm 19-20
[6] E. Mulyasa, Manajemen danKepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), Hlm 17
[7] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), Hlm 271
[8] Zamroni, dan Umiarso, ESQ Model dan Kepemimpinan Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), Hlm 52-55

No comments:

Post a Comment